Oleh
Agustam Rachman, MAPS, Penulis Sejarah, Menetap di Yogyakarta.
'Sampai di muara saka kulehat batu belang,
Sampai di Muaradua kulehat rantau kisau'.
Itulah sepenggal kata-kata yang mengiris hati bagi yang mendengarnya. Kata-kata yang tertulis di 'hiring-hiring Pangeran Jimat' ketika berangkat dibuang Belanda (hiring-hiring itu adalah kata-kata perpisahan dengan rakyatnya yang ditulis pada bambu)
Diriwayatkan, pada saat berangkat ke pembuangannya (beberapa sumber menyebutkan bahwa beliau dibuang oleh Belanda ke Ternate). Perjalanannya mengikuti aliran sungai selabung, lalu ke sungai komering selanjutnya berakhir di sungai musi Palembang untuk selanjutnya 'dikapalkan' oleh Belanda menuju tanah pembuangan .
Tentu dapat kita bayangkan bagaimana sedihnya beliau, perjalanan berminggu-minggu mengikuti aliran sungai dengan rakit bambu. Dijauhkan dari rakyat dan tanah Haji yang dicintainya dan tak jelas kapan bisa kembali. Apalagi Fatimah istrinya beserta anak-anaknya tak boleh turut serta.
Walau sebenarnya resiko itu sudah disadari oleh seorang patriot seperti Pangeran Jimat sebagai konsekuensi berani angkat senjata berperang dengan Belanda demi bebasnya rakyat suku Haji dari penjajahan.
Memang tak banyak yang tahu bahwa pernah terjadi perang besar dua babak antara suku Haji melawan Belanda.
Apalagi oleh generasi milenial sekarang ini
Perang Pauh terjadi sekira tahun 1700 atau 104 tahun sejak ekspedisi Belanda yang pertama tiba di perairan Banten tanggal 27 Juni 1596 yang dipimpin oleh Cornelis De Houtman.
Sebelum perang Pauh, terjadi perang yang pertama di daerah yang bernama Manggilan Sukarami Haji. Sekarang daerah itu sudah menjadi persawahan. Awal-awal saat digarap oleh warga banyak ditemukan tulang belulang pasukan Belanda sehingga disebut "pemelang (pematang sawah) tambunan tulang".
Dalam perang yang pertama di daerah Manggilan itu Belanda mundur karena banyaknya korban dari pihak Belanda. Kesempatan mundurnya Belanda itu dimanfaatkan oleh pejuang suku Haji untuk menyusun strategi.
Dipilihlah daerah Pauh sebagai basis pertahanan. Sekitar 3 km dari Pauh ke arah sungai Selabung dibangun benteng di atas bukit yang bersebelahan dengan sungai.
Benteng itu dibangun selama 7 tahun ditanam secara rapat jenis bambu haur berduri disekelilingnya supaya musuh tak dapat menjangkaunya.
Untuk masuk benteng harus menggunakan tangga riti (terbuat dari rotan jenis manau yang dianyam menyerupai anak tangga) tangga itu bisa ditarik kedalam, sehingga memang tidak ada pintu untuk masuk ke benteng.
Disisi bukit sebelah daratan sengaja dibuat seolah-olah jalan.
Namun jalan itu sebenarnya hanya jebakan.
Sebab saat pasukan Belanda berjalan mendaki bukit menuju benteng saat itulah kayu-kayu besar digelindingkan oleh pejuang Haji dari atas melindas pasukan Belanda.
Sebuah strategi perang tradisional dan tentunya sangat konvensional untuk ukuran sekarang ini.
Perang itu adalah perang rakyat suku Haji melawan Belanda. Perang yang memakan korban jiwa dan harta bagi suku Haji demi kehormatannya.
Ya, kehormatan sebagai suku yang terkenal pemberani,bahkan tercatat dalam sejarah perang antar suku-suku pada zaman itu, suku Haji selalu meraih kemenangan. Pantas jika penulis Inggris William Marsden dalam bukunya The History of Sumatera halaman 317 menyebut-nyebut suku ini.
Terbukti tanah suku Haji yang terbentang memanjang dari Sukarami sampai Ranau dapat dipertahankan setelah melalui perang dengan salah satu suku yang saat ini menetap di daerah Lampung.
Patriot-Patriot suku Haji dalam Perang itu adalah sebagai berikut:
PANGLIMA
Tidak ada catatan siapa nama aslinya. Tapi disebut PANGLIMA karena beliau adalah KOMANDAN perang.
Berasal dari Desa Kota Agung dikenal kebal senjata dan pemberani. Pernah saat perang yang pertama di Manggilan. PANGLIMA sempat dilarang perang oleh para sahabatnya sebab istri PANGLIMA sedang hamil.
Dengan terpaksa PANGLIMA tidak ikut perang untuk sementara. Tapi saking inginnya berperang setiap dia mendengar suara pekik pasukannya di medan laga, saat itu juga PANGLIMA yang sedang berada dirumah berpekik sembari melompat keluar menyambar pohon kelapa yang tingginya dua meteran dihalaman. Pohon kelapa itu seketika tercabut dari akarnya.
KEPALA
Beliau berasal dari Desa Kuripan tepatnya dari Kampung Ilir, terkenal pemberani dan kebal senjata tajam bahkan peluru bedil sekalipun.
Pada saat perang Pauh pernah ditangkap Belanda dan dijatuhi hukuman mati. Tapi sebelum di eksekusi mati, dapat diselamatkan oleh PANGLIMA. Walau tubuhnya tak ada luka tapi tulang pahanya remuk karena tembakan Belanda. Beliau dimakamkan di Desa Kuripan.
PANGERAN JIMAT
Berasal dari Desa Kuripan tepatnya Kampung Ulu, rumah PANGERAN JIMAT kira-kira jarak 30 meter dari batu besar yang disebut (ganduk) Cukuh.
Beliau terkenal berwibawa, gagah berani dan tentunya kebal senjata tajam.
Zaman dulu jika ada orang naik rakit dan akan melewati sungai didepan rumah PANGERAN JIMAT maka wajib membunyikan kentongan sebagai tanda hormat dan permisi pada beliau.
Menurut riwayatnya, PANGERAN JIMAT diasingkan ke Ternate sampai akhir hayatnya.
KALUNG TETIH
Berasal dari Desa Tanjung Raya, kesaktiannya didapat dari bertapa di atas potongan pohon besar sampai tunas-tunas di sekeliling potongan pohon itu menutupi tubuhnya
Saking besarnya bekas potongan pohon itu cukup untuk dipakai tidur oleh KALUNG TETIH.
Dijuluki KALUNG TETIH (TETIH Dalam bahasa Suku Haji artinya Mengambil/Memetik sayuran.
TETIH disini adalah Penggambaran bagaimana mudahnya beliau membunuh musuh-musuhnya di medan perang semudah orang memetik sayuran saja.
Sampai meninggal tidak pernah tertangkap Belanda. Beliau dimakamkan di desa Tanjung Raya.
KALUNG KIRUT
Berasal dari Desa Tanjung Raya, beliau juga terkenal gagah berani. Gugur sebagai patriot saat perang pertama di daerah Manggilan.
Sebelum gugur,para sahabatnya sudah menasehati KALUNG KIRUT supaya jangan dulu terjun ke medan perang sebab kondisi fisik KALUNG KIRUT masih sangat lemah sebab baru usai bertapa lama diatas pohon enau.
Tapi nasehat itu tak digubrisnya. Dimakamkan di Tanjung Raya.
DEPATI SINDANG
Berasal dari Desa Surabaya. Terkenal gagah berani. Tidak pernah ditangkap oleh Belanda.
Diantara anak keturunannya adalah Haji Nuar dari desa Surabaya.
DEPATI SINDANG sampai akhir hayatnya tidak pernah ditangkap Belanda dan dimakamkan di desa kelahirannya
RATU AGUNG
Berasal dari Desa Sukarami, anak keturunannya diantaranya adalah Yahuni Bin Matcik yang sekarang menetap di belakang Tangga Batu Muaradua OKU Selatan.
RATU AGUNG tidak diketahui dimana makamnya tapi dipercaya beliau silam (silop/moksa) atau menghilang tanpa jejak.
Pesan beliau yang mashur hingga saat ini adalah : 'jangan nimba air dari dalam keluar' (jangan berkhianat).
Sebab karena pengkhianatanlah benteng Pauh akhirnya dapat direbut Belanda. [***]