Diskusi: Jalan Terjal Regulasi Reforma Agraria Bengkulu - PesonaNusa

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Sabtu, 07 Desember 2024

Diskusi: Jalan Terjal Regulasi Reforma Agraria Bengkulu




Pesonanusa. Konflik agraria antara petani dengan korporasi, hingga saat ini masih menjadi salah satu topik hangat di Indonesia termasuk di Provinsi Bengkulu.

Hal ini dinyatakan dalam diskusi publik bertema Jalan Terjal Regulasi Reforma Agraria di Bengkulu, bertenpat di Kantor Bantuan Hukum Muspani Associates, Rabu (4/12) yang lalu.

Direktur Yayasan Kanopi Indonesia, Ali Akbar memaparkan, konflik agraria di Bengkulu umumnya terjadi antara komunitas petani dengan korporasi. Ini bisa terlihat bagaimana posisi petani sebagai pengolah tanah.

“Sekaligus penyedia sumber penghidupan perlahan terpinggirkan,” katanya yang dalam diskusi itu juga bertugas sebagai moderator.

Lanjut Ali, fakta di lapangan menunjukkan jika tanah-tanah produktif kini lebih banyak dikuasai korporasi, yang mendapatkan legitimasi dari negara.

Konflik ini, menurutnya, tidak hanya berkaitan dengan perebutan tanah sebagai sumber produksi saja, lebih dari itu juga tanah pemukiman.

“Sebagai contoh, masyarakat di daerah Urai Kabupaten Bengkulu Utara, kehilangan pemukiman mereka akibat abrasi pantai. Ironisnya pada saat perjuangan komunitas untuk menguasai kembali tanah mereka, kerap berujung pada intimidasi yang dilakukan pihak korporasi dengan dukungan negara,” ujarnya.

Sementara Ahli Hukum Agraria sekaligus pemantik diskusi, Dr. Syaiful Bahari, SH, MH menerangkan, masalah utama dalam regulasi agraria di Indonesia bermula dari kekosongan hukum, yang terjadi antara tahun 1945 hingga 1960.

“Sebelum akhirnya lahir Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960,” jelasnya.

Kekosongan ini, paparnya, dimanfaatkan kelompok tertentu untuk menghidupkan kembali substansi domain verklaring dari era kolonial, yang kini muncul dalam berbagai peraturan, seperti Undang-Undang Kehutanan.

“Kondisi ini menyebabkan UUPA kehilangan substansi utamanya. Norma-norma di dalamnya menjadi kabur, seperti konflik antara Hak Bangsa dan Hak Menguasai Negara, yang hingga kini tidak memiliki tafsir yang jelas,” beber Syaiful.

Ia menambahkan, ketidakjelasan ini melemahkan posisi masyarakat dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka. Untuk mengatasinya, perlu diusulkan agar norma-norma agraria yang kabur dapat ditafsirkan melalui jalur hukum.

“Seperti gugatan di pengadilan umum maupun Mahkamah Konstitusi (MK),” tegasnya.

Program reforma agraria, meskipun landasan hukumnya hanya berbentuk peraturan presiden, dianggap sebagai strategi yang dapat menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan konflik agraria saat ini.

“Yang terpeting bagaimana menjadikan intensitas konflik agraria, sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki regulasi di masa mendatang,” sarannya.

Suasana diskusi publik



Ketua IKADIN Bengkulu, Muspani, SH, MH menyoroti pengaruh dinamika politik terhadap regulasi agraria. Maka dari itu, para praktisi hukum, khususnya pengacara harus memiliki peran penting dalam menemukan dan merumuskan hukum-hukum baru berdasarkan situasi di lapangan.

“Praktisi hukum harus menjadi garda terdepan dalam memberikan solusi atas konflik agraria, dengan menggali celah hukum yang dapat memperkuat posisi masyarakat,” jelasnya.

Lebih lanjut, Muspani menilai diskusi ini secara langsung telah menghasilkan harapan agar berbagai pihak, baik pemerintah, praktisi hukum, maupun masyarakat, untuk dapat bersinergi untuk menghadirkan regulasi agraria yang adil.

“Serta berpihak pada rakyat, sehingga konflik agraria dapat diminimalisir,” pungkas Muspani. [rls/nata]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar