Mengkampanyekan Anti KKN Belum Dipopulerkan Paslon - PesonaNusa

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Kamis, 26 September 2024

Mengkampanyekan Anti KKN Belum Dipopulerkan Paslon

 

Kurniawan Eka Saputra


Pesonanusa. Masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 resmi telah dimulai sejak 25 September 2024 hingga 23 November 2024, tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Uumum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024.


Disetiap kampanye pasangan calon kepala daerah (Paslon Kada) masih lebih menonjolkan seputar visi-misi kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan hal-hal yang menjadi kebutuhan dasar publik, dari pada mengkampanyekan anti Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN).


Peneliti pada Sumatera Initiative Research and Consulting Bengkulu, Kurniawan Eka Saputra, S.Sos,. SH,.MH,. CLD, Kamis (26/9) berpendapat, hal tersebut bagian dari strategi paslon, saat bersosialisasi atau kampanye.


"Apalagi jika dilihat dari skala prioritas program dalam persepsi pemilih di daerah, setidaknya di banding issue tentang pendidikan, kesehatan gratis, pelayanan publik, dan lain-lain," ungkap pengajar di Universitas Negeri Bengkulu (UNIB) Ini.


Namun lanjut Eka, secara umum ada beberapa hal yang melatari antara lain, pertama, bahwa transaksionalisasi politik termasuk dalam Pilkada, sangat massive dilakukan oleh para stake holder. Bukan rahasia umum bahwa praktik itu juga di sinyalir terjadi dalam relasi antara paslon dengan parpol. 


"Paslon dengan pemilih bahkan paslon dengan penyelenggara. Artinya, jika issue KKN (good governance) disampaikan sebagai bagian dari janji kampanye, bisa jadi akan menjadi boomerang bagi paslon tersebut," terangnya.


Selanjutnya kata Eka praktik KKN dalam hukum pidana adalah extra ordinary crime, artinya kejahatan luar biasa yang susah di berantas oleh aparatur hukum bahkan negara. Ada banyak modus dan cara, bahkan melahirkan kejahatan baru bernama money laundering (pencucian uang).


"Tentu beresiko bagi paslon untuk menjanjikan sesuatu yang sulit direalisasikan. Negara saja tidak maksimal, apalagi level kepala daerah," pendapat Eka.


Ketiga, bahwa dalam konteks Pilkada kekinian, visi misi dan janji kampanye hanyalah bagian dari formalitas tahapan. Tidak ada instrumen politik yang memberi sanksi kepada paslon terpilih kelak, bagaimana jika tidak merealisasikan janji kampanye yang disampaikan.


"Sehingga untuk apa kita mengambil resiko menyampaikan janji yang sulit di penuhi," terangnya.


Keempat, bagi pemilih di daerah kebanyakan issue KKN adalah issue elit yang hanya diperdebatkan di kampus TV belaka. Tidak menyentuh persoalan mayoritas pemilih yang masih kesulitan membeli beras, menyekolahkan anak atau berobat ke faskes, dan lain-lain.


"Itulah kemudian ketika issue pelayanan publik yang mudah di akses, pendidikan dan kesehatan gratis menjadi sangat populis karena menyentuh persoalan mayoritas pemilih kita," tutur Eka menjelaskan.


Yang terakhir, tambah Eka, ada disparitas (kesenjangan) antara kebutuhan publik di daerah satu dengan daerah kaya atau pusat, janji kampanye biasanya lokalitas. Di kantong pemilih miskin, maka issue raskin, bantuan langsung, dan lain-lain menjadi daya tarik dan motif memilih.


"Namun pada daerah kota, awareness terhadap issue KKN mungkin laku di sampikan ke pemilih. Karena mereka sudah selesai dengan persoalan ekonominya. Artinya, ini terkait dengan tingkat pendapatan, pendidikan maupun ekonomi," bebernya.


"Hal-hal tersebut dalam pemahaman saya setidaknya menjadi latar bagi masalah minimnya paslon mengkampanyekan issue kolusi, korupsi dan nepotisme dalam kampanye pilkada," tutupnya. [nata]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar