Putusan MK, Pengamat: Merespon Fenomena Calon Tunggal yang Tidak Sehat - PesonaNusa

Breaking

Home Top Ad

Responsive Ads Here

Selasa, 20 Agustus 2024

Putusan MK, Pengamat: Merespon Fenomena Calon Tunggal yang Tidak Sehat

 


* Berdampak di wilayah kabupaten/kota kecil


Pesonanusa. Pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 60/PUU/XXII/2024  pada hari Selasa (20/8/24) yang diajukan oleh Partai Buruh dan Partai Gelora. Secara garis besar MK menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU No. 10/2016 Tentang Pilkada yang mengatur minimal dukungan bagi parpol non parlemen sebesar minimal 25% in konstitusional, artinya bertentangan dengan konstitusi dan dianggap tidak berlaku.


Begitu pendapat Peneliti pada Sumatera Initiative Research and Consulting Bengkulu, Kurniawan Eka Saputra, S.Sos,. SH,.MH,. CLD, Selasa (20/8).


Eka melanjutkan pada sisi lain, mahkamah dengan putusan ini juga menggunakan positive legislator dengan mengubah pengaturan Pasal 40 ayat (1) yang mengatur komposisi jumlah minimal dukungan untuk bakal calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati dan walikota wakil walikota menjadi 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen suara sah sesuai dengan jumlah penduduk.


"Demikian juga tentang keberlakuan putusan ini mulai berlaku dan mengikat untuk Pilkada serentak 2024, karena dalam putusan itu tidak disebutkan penundaan keberlakuan misalnya dalam Pilkada 2029," kata Eka ketika dihubungi melalui sambungan selular.


Lalu bagaimana konsekwensinya, terhadap persyaratan dukungan calon dalam Pilkada 2024? Eka berpendapat, putusan ini merubah secara signifikant peta politik lokal, artinya pada banyak daerah yang ada paslon kurang suara dukungan, bisa mencalonkan diri.


Demikian halnya di kabupaten/kota kecil, dengan jumlah penduduk yang termuat pada daftar pemilih tetap sampai dengan 250.000 peluang pilkada calon tunggal lebih kecil karena akan memunculkan paslon baru ke arah kontestasi, seperti beberapa figur yang sempat ikut fit and propertes di beberapa parpol sebelumnya.


"Saya pikir putusan ini merespon fenomena calon tunggal di banyak daerah, yang memang tidak sehat bagi sebuah demokrasi, terutama tentang alternatif dan hak pemilih untuk memdapat banyak pilihan," terangnya.


Masih pendapat Eka, pada level teknis, memang putusan ini harus di respon oleh KPU dengan segera merubah PKPU tentang persyaratan calon kepala daerah.


Karena dalam PKPU 3/2023 tentang jadwal tahapan, pada tanggal 27 sd 29 Agustus 2024 sudah masuk tahapan pendaftaran.


"Apakah waktu 9 hari tersisa cukup bagi paslon dan parpol untuk merevisi kembali dokumen dukungan B1 KWK parpol atau mengeluarkan B 1 KWK parpol baru dari DPP? Sementara jika merubah jadwal tahapan, MK juga telah memutuskan agar KPU tidak boleh merubah jadwal yang telah di terapkan.


Artinya, 9 hari waktu tersisa bagi paslon dan parpol yang akan mengajukan paslon baru harus segera melengkapi syarat perseorang seperti SKCK, kesehatan, pailit, dan lain sebagainya serta pada saat yang bersamaan harus juga mengurus dokumen dukungan parpol berupa Model B1KWK Parpol," bebernya.


Dalam konteks pilkada di wilayah kabupaten/kota kecil melihat putusan ini berdampak pada perubahan peta kontestasi pilkada.


"Hal lain yang penting dari putusan 60/PUU/XXII/2024 adalah bahwa tidak ada lagi pemisahan penggunaan dukungan kursi dan suara. Semuanya menggunakan dukungan perolehan suara berbanding suara sah. Artinya, parpol non parlemen juga, berkesempatan untuk mengajukan paslon dalam pilkada gubernur, bupati serta walikota," pungkasnya. [nata]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar