Pesonanusa. Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum, Universitas Esa Unggul Jakarta, Prof Juanda, mengatakan jika memahami kalimat didalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang nomor 1 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undnag Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang pasal 7 ayat 2, itu memang sama dengan PKPU nomor 8 tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota pada Pasal 14 ayat 2 poin O.
Dilanjutkan Prof Juanda, Kamis (18/7) bagaimana memaknai rumusan pasal tersebut, itu tergantung pada pemahaman masing-masing.
"Jika kita lihat dari gubernur dan seterusnya bupati dan seterusnya itu Dia harus mundur ketika Dia mencalonkan diri di daerah lain. Nah bagaimana kita memaknai kata di daerah lain," kata Prof Juanda.
"Apakah di daerah lain itu di luar tempat bupati/walikota atau gubenur bekerja, atau di dalam bupati/walikota atau gubernur bekerja," tanya Prof Juanda.
Dilanjutkan Prof Juanda, jika dimaknai di daerah lain itu, katakanlah Bupati Mian (Kabupaten Bengkulu Utara) terus dia mencalonkan Bupati Rejang Lebong (Kabupaten Rejang Lebong) apakah itu yang dimaksud daerah lain?
Kemudian seandainya Bupati itu harus nyalon Gubernur atau Wakil Gubernur naik setingkat wilayah administratifnya, apakah tidak termasuk Provinsi Bengkulu atau Bengkulu Utara tidak termasuk dalam Provinsi Bengkulu, apakah itu yang dimaksud dengan kata "di daerah lain"?
"Kalau kita menganggap Bengkulu Utara di luar Provinsi Bengkulu, maka berarti benar bahwa Mian harus mundur," terangnya.
"Tapi jika makna Bengkulu Utara itu termasuk daerah Provinsi Bengkulu, apakah harus mundur juga ? tentu menurut saya tidak. Jadi dengan pertanyaan bagaimanakah persoalan dengan Mian, itu tergantung pemahaman tentang makna di daerah lain tadi. Kalau Bengkulu Utara dianggap di luar Provinsi Bengkulu, maka ketika Mian mencalonkan diri jadi Gubernur atau Wakil Gubernur dia harus mundur, tetapi jika Bengkulu Utara bagian dari Provinsi Bengkulu daerah lainnya mana ?" jelas Prof Juanda.
Masih kata Prof Juanda, tetapi jika Mian mencalonkan diri sebagai Bupati Benteng (Kabupaten Bengkulu Tengah) maknanya itu daerah lain, maka Mian harus mundur dari jabatannya sebagai Bupati Bengkulu Utara, jelas itu tidak perlu diperdebatkan lagi.
"Makanya silakan masyarakat menilai pernyataan kalimat "di daerah lain itu", mau dimaknakan atau dinilai Bengkulu Utara tidak termasuk Provinsi Bengkulu berarti Mian harus mundur. Tetapi Kalau Bengkulu Utara itu masih dianggap bagian dari Provinsi Bengkulu, ya tentu Mian tidak terkena ketentuan pasal yang dipersoalkan tadi," jelas Prof Juanda.
Kalau Prof Juanda memaknakan, bahwa Bengkulu Utara itu bagian dari daerah Provinsi Bengkulu, bukan di luar Provinsi Bengkulu dengan demikian maka menurut the Founding Treas Constituendum Institute Indonesia Mian tidak perlu mundur, hanya saat kampanye nanti Mian wajib cuti.
Sama dulu dengan status Helmi Hasan saat Jadi Wali Kota Bengkulu nyalon Gubernur Bengkulu, faktanya tdk mundur kan ? Tapi Cuti saja. Jadi mundur itu kalau jabatan yang sama (selevel) Bupati dengan Bupati atau Wali Kota, mau mencalonkan diri di luar dari tempatnya menjabat sekarang atau Gubernur Bengkulu mau nyalon Gubernur DKI maka dia harus mundur .
"Contoh konkret lain, misalnya kalau Mian itu mau nyalon jadi Bupati Benteng maka dia harus mundur karena Benteng itu di luar Bengkulu Utara dan level jabatanya sederajat" pungkasnya. [nata]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar